Popular Post

Sudahkah Anda Bersyukur Hari Ini?

By : Rossy
Sudahkah Anda Bersyukur Hari Ini?


Belum sempat John meletakkan tas kerjanya sepulang ke rumah, matanya tertegun melihat sebuah surat tergeletak di atas meja.
Di sebuah amplop tertulis “Untuk ayah tersayang”
Setelah belasan tahun menjadi single parent, baru kali ini ada surat untuknya dari Lucy, anak gadisnya. Ada apa?
Kalimat pertama pada surat itu sudah mengguncang hatinya;
Ayah tersayang, jika ayah membaca surat ini maka aku sudah tidak ada di rumah.
Sekalipun berat John melanjutkan bacaan kata demi kata.
Ayah, aku telah menemukan pria yang akan mendampingiku selamanya.
Memang buat orang lain dia sudah terlalu tua, tapi bagiku pria berusia 45 tahun masih tetap muda.
Dia sangat energik ayah, kalau ayah mengenal lebih dekat dengannya pasti ayah juga akan menyukainya.
Ayah jangan terkecoh dengan tato di seluruh tubuhnya atau janggut dan brewoknya yang panjang atau puluhan tindik di telinga dan hidungnya, karena jauh di dalam hatinya ia adalah orang baik.
Ia sangat sayang padaku, dan juga ayah dari anak di dalam kandunganku.
Istrinya tidak keberatan aku mendampinginya, karena istrinya sudah sibuk mengurus anaknya yang banyak.
Oh iya, ayah tidak usah khawatir tentang kehidupanku.
Ia menguasai penjualan ekstasi di kota, jadi uang sama sekali bukan masalah buat kehidupan kami.
Saya tahu ia sudah mengidap HIV sejak lama, tapi katanya dalam beberapa tahun ke depan obat penyakit AIDS akan ditemukan jadi aku tidak perlu khawatir bukan?
Ayah jangan bersedih karena aku bahagia.
Usiaku sudah 18 tahun ayah jadi aku bisa memutuskan yang terbaik untuk hidupku.
Tanpa sadar, air mata sang ayah menetes jatuh ke lembar surat itu.
Bagaimana mungkin anaknya yang lucu dan periang bisa menjadi seperti inii?
Lembar pertama surat pertama baru saja selesai dibacanya.
Tangan sang ayah bergetar, berat rasanya, tapi ia membuka lembar kedua surat itu.
Kali ini isinya jauh berbeda.
Ayah sayang,
Maaf, sebenarnya surat di halaman pertama tadi tidak benar-benar terjadi.
Saya hanya ingin menggambarkan betapa kemungkinan terburuk bisa terjadi pada anak-anak gadis, dan syukurlah aku tidak demikian.
Ayah bahagia bukan, kalau aku tetap bersama ayah?
Ayah bahagia bukan, akau tidak menghancurkan diriku seperti itu?
Tentu saja, mempunyai anak yang rapornya jelek, jauh lebih menguntungkan daripada mempunyai anak seperti itu.
Oh iya Ayah, raporku ada di dalam tas, nilainya jelek, maaf ya.
Silahkan ayah lihat, jangan lupa ditandatangani.
Besok guru ingin bicara dengan ayah tentang nilai raporku, jangan marah ya.
Kalau ayah tidak marah melihat nilai raporku, aku sedang bermain di rumah sebelah, aku tunggu yah?
Love you Daddy.
“Lucy……….!” John berteriak dan lari ke rumah tetangganya, ia akan mengitik habis anaknya yang ‘keterlaluan’ itu.
Lega rasanya hati John. Konyol tapi melegakan.
Tidak seperti kebanyakan ayah yang sedih melihat rapor anaknya yang buruk, hati John justru berbunga-bunga karena ia tidak kehilangan anaknya.
Memang kali ini, keterlaluan sekali becanda anak gadisnya!
Hikmah...
Sebenarnya Lucy hanya ingin agar ayahnya tidak marah melihat rapornya yang buruk, untuk membuat masalah rapor buruk terlihat kecil ia membuat gambaran masalah besar yang mungkin terjadi sehingga masalah yang ada jadi terlihat kecil.
Ini sebenarnya adalah seni bersyukur dan seni berkomunikasi dengan diri.
Kalau Anda ingin bersyukur atas kesulitan yang kita terima maka kita sebaiknya membayangkan kesulitan lebih besar yang mungkin bisa kita alami. Dengan demikian kita bisa menghindari diri dari stres atau kegalauan yang berkepanjangan.
Masalah kekecewaan hati atau rasa tidak bersyukur biasanya tidak berhubungan dengan uang tapi lebih karena penerimaan hati.
Orang yang tidak bersyukur biasanya FOKUS PADA YANG TIDAK DIPUNYAI sedangkan ORANG BERSYUKUR FOKUS PADA YANG DIMILIKI.
Sudahkan Anda bersyukur hari ini?

Tag : ,

"Ikatkan Pita Kuning Untukku"

By : Rossy



Pada tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia, Amerika Serikat. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik, sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam dalam keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya. 
Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New York. Dia mencuri uang dari tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama dengan beberapa temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya.
Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.
Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa menyesalnya dia. Bahwa dia masih dan sangat mencintai isteri dan anak-anaknya.
Dia berharap masih boleh kembali dan hidup bersama dengan isteri dan anak-anaknya. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan menulis, “Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami. Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan anak-anak seumur hidupku.”
Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah. Dia tidak menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau mengampuninya? Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, “Tolong, pas lewat White Oak, jalan pelan-pelan…kita mesti lihat apa yang akan terjadi…”
Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras. Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetas di matanya… Dia tidak melihat sehelai pita kuning… Tidak ada sehelai pita kuning…. Tidak ada sehelai…… Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning….bergantungan di pohon beringin itu…Ooh…seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning…!!!!!!!!!!!! 


Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, “Tie a Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree”, dan ketika album ini di-rilis pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April 1973. 
Tag : ,

Bianca Punya Kawan

By : Rossy


Bianca punya kawan

teman bianca baru dikenal satu menitan
setiap bicara selalu MEnjadi lawan
bianca senang punya kawan
tapi teman lebih suka punya lawan

Bianca punya kawan

jika bicara serasa lawan
bianca tak pernah berani melawan
takut-takut 'teman' membawa kawan

Bianca punya kawan
tapi kenapa muka kawan mirip setan?
tebalnya seperti dipan
ludahnya penuh kotoran

Bianca punya kawan
...
Tag : ,

Dear Gie

By : Rossy


Dear Gie,Senjaku yang terkasih. Kutub cintaku ini masih saja belum mencair. Rasanya aku tak ingin berakhir dan beranjak sedikitpun dari hatimu. Gie sayang... Apa kabar kamu di sana ??? Baikah kau di sana ???Maaf aku mengirimkan kabar lewat hal lain. Aku tak ingin menderingkan nada ponselmu dengan pertanyaan yang tak penting menurutmu. Adakah orang yang melukai hatimu. Apa ada yang membuat kamu marah? Semoga saja jangan gie. Aaku tak ingin kamu sulit.Gie, 7 hari berlalu., aku melepasmu pergi dari sisiku. Dan dari hatimu aku diperintahkan pergi. Masih berat sayang. Rasanya sulit. Taukah kau..??? Aku takut kau tak memegang tangan Tuhan, Gie.Setiap subuh berkumandang. Otakku terus saja berfikir tentangmu. Tau kah aku sangat menghawatirkanmu di sana, sayang. Maaf ketika kamu menyuruhku untuk tidak mengingatmu. Maaf aku masih saja terus mencintaimu.Gie sampai detik ini aku masih saja mencintamu. Gie kembalilah kepadaku. Aku mencintaimu.
Tag : ,

Midwife

By : Rossy
           


            ‘Banyak hal yang membuat kita jatuh cinta pada hidupTak akan terukur dan tertakar akal mengapa kita jutaan kali mati dan lahir, seolah tak berakhir. Sesuatu dalam mortalitas ini mengundang kita untuk kembali, dan kembali lagi. Sesuatu dalam dunia materi, jasad, partikel, mengundang jiwa kita menjemput tubuh untuk ditumpangi dan kembali mengalami’.
            Dalam keadaan mabuk asmara, kita akan merasa lahir untuk seseorang yang kita cinta. Seorang ibu, dalam puncak kebahagiaannya, akan merasa lahir untuk melahirkan buah hatinya. Sedangkan kita, untuk menyalurkan apresiasi atau apalah itu namanya, kita akan merasa terlahir untuk menjadi seorang midwife. Dan untuk beragam alasan, kita jatuh hati pada hidup dan kehidupan. 
          Jika midwife adalah intan diantara jutaan pasir. Maka kita adalah berlian diantara ribuan intan.
Jika pertemuan awal kita tiga tahun lalu adalah suatu ‘kebetulan’, apakah pertemuan kedua orang tua kita 21 tahun silam, 30 tahun silam, atau lebih adalah suatu ‘kebetulan’? Sehingga mereka pun menikah dan kita terlahir didunia, dan itu masih suatu ‘kebetulan’? Kemudian kita membaca dengan hati berbunga sederetan nama calon mahasiswa yang lolos uji tulis (sebagian dari kita bahkan menganggap ini kecelakaan), apakah itu suatu ‘kebetulan’?
Itu bukan suatu kebetulan…


Itu takdir…
Pada hakikatnya, tidak ada kebetulan dalam hidup. Tidak ada yang bernama kebetulan. Kita dibagi menjadi tiga kamar pada awal tahun, itu bukan suatu kebetulan, itu takdir. Kita memakai seragam putih-putih, itu telah ditakdirkan. Mungkin ada diantara kita, ditugaskan dalam ruangan di sebuah rumah sakit, kemudian bertemu dengan seseorang yang mungkin akan menjadi imamnya di masa mendatang, itu juga takdir. Bahkan… sebelum sperma ayah bertemu dengan ovum ibu pada 21 tahun silam,  Tuhan telah menuliskan takdir kita, Tuhan telah memilih kita. Tuhan telah memanggil.
Midwife…

One Message

By : Rossy
               
    Saat kalian keluar dari pintu itu, hidup”ku” dan hidup”nya” saling berketergantungan. Aku hanya punya dia, begitu pula sebaliknya. Jika kalian merasa meninggalkan kami hanya dalam beberapa menit. Kami merasa ditinggal kan selama 5-6 tahun. Hal paling mengerikan yang dapat aku ingat hanya saat pintu itu tertutup bersama bayang-bayang kalian. Malam itu kami berdua tidur didepan semak belukar berharap pintu itu akan terbuka lagi. Tapi, sampai dua hari pun tidak ada tanda tanda pintu itu terbuka. Kami kelaparan. Akhirnya kami berniat mencari makanan seadanya dan kembali. Kami memutari hutan hutan, tanpa tahu apa yang sedang dicari.  Jiwa kekanakan ku mulai memberontak, aku menangis. Aku hanya ingin pulang.
    Dia, sebut saja namanya Alvin (aku tidak terlalu suka menyebutkan nama saat membicarakan seseorang, haha) kalian tahu siapa yang aku maksud ‘kan? Kadang menghiburku, kadang memarahiku, tapi lebih sering marah. Selalu mengatakan “Wah.. ini hanya sementara, semua baik baik saja” padahal aku tahu persis, dalam hatinya sangat lah kacau.
   Kami mencari sesuatu yang layak dimakan, saat kami melihat sungai  jernih diujung kanan penglihatan kami, bersorak sorak lah kami saking gembiranya. Aku berlarian kecil mengikuti Alvin yang telah lebih dulu berlari, sesekali ia menengok kebelakang memastikan aku tidak hilang arah mengikutinya. Sesampai kami ditepi sungai, aku minum dengan rakusnya. Itu kali pertama ku meminum air sungai rasanya sangat nikmat. “Seger Bi..” Alvin tersenyum segar menatapku. Aku mengangguk lalu kami tergelak. Sungai itu begitu jernih, ikan ikan berenang kesana kemari. Aku memastikan itu bukan ikan piranha (ikan kecil pemakan daging).  Alvin bersiap menangkap ikan satu dua untuk kami santap. Jelas saja seorang Alvin pasti kesulitan menangkap ikan itu, kalian tahu sendiri apa alasannya. Beberapa jam baru Alvin berhasil menangkap 3 ikan. Kami membakar dan melahap begitu sedapnya. Begitulah hari pertama yang kami lalui. Kami tidur beralaskan daun paling besar yang pernah aku lihat, belakangan aku tahu nama daun itu Minacata.
Sesaat aku menilai hutan ini tidak lebih dan tidak kurang sama dengan dunia dibalik pintu itu. Namun, jika kalian berpikir kami baik baik saja dengan makhluk disana, jawabannya, TIDAK. Pernah suatu malam aku melihat seseorang mengintip dibalik semak, kemudian berlari hilang. Saat berlari bayangan putih masih mengikuti dibelakangnya. Aku bergidik, saat itu Alvin tidur. Aku menggeser badan ku sedikit lebih dekat dengan Alvin akibat rasa takut. Namun malam-malam berikutnya makhluk itu tetap terlihat, kadang berwarna kuning, kadang berwarna hijau. Warna nya menyala indah seperti lampu redup. Alvin pun pernah bercerita kalau ia juga pernah melihat makhluk itu. Semakin lama makhluk itu terlihat semakin indah, tidak menakutkan lagi. Mereka bergerak kesana kemari meninggalkan  cahaya aurora.
Banyak keanehan sekaligus keindahan disini jika aku ceritakan satu persatu tidak akan ada habisnya. Dan sayangnya, keindahan dan keanehan dunia balik pintu ini bukan inti dari cerita yang ingin aku utarakan.
Pada waktu itu kami terus berjalan menyusuri belukar yang berduri, ber “aw aw” ria dengan tusukan cinta dari semak semak berduri yang kami lalui. Aku terus berpegangan jaket yang dikenakan Alvin untuk menjaga keseimbangan sekaligus mencegah ia kabur bersembunyi mengerjaiku seperti yang ia lakukan lalu lalu. Alvin mengibas ngibas kan tangannya menghindari ranting atau sarang laba laba yang menghalangi jalan kami. Ada suara menggema seperti suara nyanyian burung yang saling bersahutan, tapi aku yakin itu bukan burung.  Kami berjalan terus, tanpa sadar kami lupa jalan menuju semak belukar tempat aku dan kalian terpisah. Kami melewati jalan yang sebelumnya belum pernah kami lalui. Disepanjang perjalanan, kami membicarakan pasangan kami masing masing. Aku menceritakan tentang Vino, Alvin menceritakan tentang Mawar. Aku menceritakan segala persiapan pernikahanku dengan Vino. Sampai sampai kami benar benar tidak sadar jika rumput didepan kami tidaklah bertanah.
Alvin jatuh merosot dan terpental di tebing tebing bawah kakiku, aku belum menginjak rumput tak bertanah itu. Aku mendengar badan Alvin ber’debug’ an dengan kayu kayu dan tanah. Aku berteriakk sejadinya memanggil nama Alvin, aku benar benar tidak melihat apapun dibawah sana, hanya mendengar suara erangan kesakitan Alvin. Aku benar benar ketakutan dan menangis sejadinya, ngeri rasanya membayangkan harus sendiri bertahan hidup disini. Rumput tak bertanah ini tumbuh tinggi berpuluh puluh kali lipat lebih tinggi dari pohon kelapa. Rumput ini terus tumbuh sampai keujung tebing. Aku kembali memanggil Alvin, namun tidak ada sahutan. Perlahan aku turun menyusul Alvin. Berpegang kuat dengan batu batu dikanan kiriku, seraya meneriakkan nama Alvin aku terus turun perlahan. Semakin aku turun kedasar, semakin kurang pencahayaannya, cahaya matahari tidak mampu menerobos masuk akibat ilalang raksasa ini. Aku kurang tahu pasti dimana posisi Alvin jatuh pada saat itu. Setelah sampai dasar aku berlari menerobos ilalang ilalang itu. Sesaat aku mendengar suara kaki melangkah, tentu bukan suara langkahku. Aku berhenti berlari dan mematung, menerka nerka apa yang akan muncul dibalik ilalang itu. Alvin kah? Atau makhluk lain? Dan kalian tahu… sosok itu bertubuh tegap tinggi besar muncul secara bergerombol didepan ku, mereka mengangkat Alvin yang tak sadarkan diri dengan satu tangan. Secara fisik mereka sama seperti kita, hanya saja warna rambut mereka berwarna biru. Ada biru tua, dan biru muda, bahkan ada pula yang biru pupus. Sosok yang mengangkat tubuh Alvin mengeluarkan suara yang tidak aku mengerti, disusul dua orang yang menarik kedua tanganku dan diikatkan dibelakang kepala.
Sungguh saat itu aku ingin pulang, saat itu aku benar benar membenci kalian. Aku berjalan tersaruk saruk akibat mata yang tertutup, aku berharap Alvin hanya tak sadarkan diri, tidak lebih.  Aku menangkap suara suara yang terdengar samar. Mulanya terdengar samar, lambat laun suara itu semakin dekat. Dan saat ini aku merasa berada ditengah pasar. Mereka tetap menyeretku untuk terus jalan, belok kanan belok kiri tanpa aba aba sampai sampai kaki ku hamper terkilir. Suara ramai dan berisik itu mulai menghilang.
Singkat kata, kami digiring masuk ke sebuah pemukiman, saat penutup mataku dilepaskan aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku jelaskan disini pun kalian tidak akan percaya, kalaupun kalian percaya dan berharap aku akan bercerita lebih tentang ‘apa yang aku lihat’ saat itu, sungguh membuang buang waktu.  Yang jelas, semua dari mereka berambut biru dan bermata emas. Baju yang mereka kenakan seperti terbuat dari rotan berwarna putih dan kecoklatan.
Ada satu diantara mereka yang berambut gelap, mendekatiku dan mengamatiku, lalu berkata lantang diantara para “rambut biru”. Setelah berpidato panjang diantara makhluk ‘rambut biru’ itu dengan logat astralnya yang sulit aku pahami, mereka semua mendekatiku dan melepaskan ikatanku seraya melontarkan kata maaf, “Maaf nona, maaf”
Pasti kalian kaget, mengapa makhluk aneh itu bisa bahasa kita, aku bahkan seribu kali lebih terkejut. Seseorang berambut gelap itu belakangan kuketahui bernama Keven., menjelaskan semuanya tentang tindakan teman-temannya. Mereka hanya takut, makhluk asing sepertiku adalah mata mata. Saat itu aku kurang mengerti semua hal yang Keven jelaskan. Keven lah yang nantinya menjadi kawan baik kami dan begitu sering membantu kami.
Aku dikawal masuk ke sebuah ruangan dimana Alvin mendapat perawatan dari mereka.  Kondisinya sangat menyedihkan, tulang kaki dan tangannya patah, bagian kepala ada yang retak. Aku mendekati Alvin, pada bagian kepala Alviin, mereka mengompres dengan sesuatu yang lebih mirip dengan akar. Kaki dan tangan Alvin disiram cairan – aku tidak tahu apa itu – oleh seorang wanita manis berambut biru pupus, sesaat ia menoleh padaku, lalu tersenyum. Tentu saja mereka semua baik. Mereka merawat Alvin, menjelaskan semua jenis makanan padaku, menjelaskan macam macam obat yang sulit kuhapal karena terlalu anehnya. Mengajariku cara bertahan hidup disana, menceritakan segala hal yang ada disana (makhluk indah berwarna warni itu belakangan aku tahu bernama Rainbow Fairy). Beberapa betina memuji ketampanan Alvin. Untuk sesaat aku lupa bahwa aku ingin pulang. Aku mulai menikmati kehidupanku di dunia baru ini. Makanan baru, kawan baru, kehidupan baru dan cara bertahan hidup yang baru.
Hari-hariku habis dengan merawat Alvin dan mengajarkan Alvin berjalan. Melelahkan memang, terkadang Alvin bersikap kurang baik dengan perawat pribadinya, mengesalkan. Tangannya yang patah dalam beberapa hari tidak dapat digerakkan, jelas saja untuk masalah makan pagi hingga makan malam ia sangat tergantung padaku. Namun itu hanya beberapa hari, untuk selanjutnya kami lebih fokus dengan masa pemulihan kakinya yang patah. Sambil mengajarinya berjalan kami mendatangi tempat tempat indah, kemudian mengukir nama kalian disana, berharap saat pintu itu terbuka kembali, kami siap menjadi guide pribadi kalian. Seolah memberi tanda, tempat inilah yang akan kita kunjungi nantinya. Dipohon pohon tempat kami singgah, Alvin mengukir nama Mawar kemudian nama itu ia lingkari dengan bentuk hati. Aku menirunya, mengukir nama Vino dan melingkari dengan bentuk hati. Alvin merindukan Mawar seperti aku merindukan Vino. Aku mengancamnya, jika ia tidak hadir dalam acara pernikahanku, jangan harap aku menganggapnya teman, Alvin hanya terkekeh.
Pernah suatu malam, Alvin mengeluh panas pada bagian kakinya, mereka bilang itu efek samping dari obat yang diberikan. Aku mengipasi nya sampai hampir terbit fajar. Aku menggerutu sesekali mengumpat sambil mengipasi bagian yang terasa panas. Alvin hanya meringis dan berucapa maaf berkali kali. Saking lelahnya, aku langsung melempar kepalaku dipinggiran ranjang Alvin yg terbuat dari tumpukan jerami. Esoknya aku terbangun dalam keadaan berselimut.
Kurang lebih satu bulanan akhirnya Alvin pulih secara keseluruhan. Oia.. perlu kalian ketahui, sejak awal  kedatangan kami , mereka hanya menyediakan satu gubuk untuk kami berdua, itupun gubuk gudang yang telah dibersihkan. Didalamnya ada satu kamar yang ditempati Alvin, sejak ia pulih, ia membuatkan kamar perempuan untukku. Cukup perkasa bagi seorang Alvin yang mampu membangun satu ruangan saja seorang diri.  Walau diakhir, dia menggerutu sebab tangan besarnya tergores paku.
Dan akhirnya, semua bermula dari sini saat kami semua mengikuti acara Pesta Malam yang Keven bilang diadakan setiap tahun. Kami bernyanyi dan menari mengitari kobaran api. Aku ikut bersorak sorai bergandengan dengan para gadis (betina) berambut biru sambil melompat lompat senang. Beragam makanan asing berjejer di meja di sisi kanan dan kiri kami. Diujung sana terdapat tumpukan buah berwarna merah menyala. Bentuknya mirip buat tomat, tapi isinya seperti apa, aku penasaran. Mereka bilang buah itu akan tumbuh sekali dalam setahun, dan satu satunya penutup makanan paling dinanti. Aku melihat Alvin berkumpul dengan para jantan lainnya, belajar memainkan musik, sedangkan dibelakangnya para betina muda memperhatikannya. Saat Alvin membuka suara untuk bernyanyi, pipi mereka bersemu merah dengan lucunya. Aku tertawa sendiri melihat tingkah para betina muda.
Di malam puncak acara Pesta Malam itu, satu per satu makanan sudah kami habiskan. Aku tidak begitu banyak makan malam itu, tiba tiba saja perutku rasanya sangat tidak nyaman. Aku pulang kegubuk lebih dulu sebelum acara usai.

Malam hari aku terbangun, ada suara berisik seperti benda jatuh secara bersamaan. Belum sempat aku sampai pintu kamarku, seseorang mendobrak masuk ke dalam. Aku terkejut bukan kepalang. Saat aku melihat Alvin berdiri tepat dipintu kamarku, aku sedikit lega. Napas Alvin naik turun, badannya basah dengan keringat. Aku berpikir, apakah pemukiman ini sedang diserang? Samar aku mendengar Alvin bersuara,”Tolong aku Bi..”. belum sempat aku menanyakan “Ada apa” Alvin maju beberapa langkah sambil tergesa gesa. Kemudian ia mendorongku kuat hingga kepalaku terbentur kayu dari atap gubukku yang rendah. Tangannya basah dengan keringat, nafasnya naik turun dengan cepat, ia memegangi bahuku dengan kuat sambil menunduk. Lalu Alvin perlahan menatapku, nafasku tercekat. Dia bukan Alvin. Matanya berwarna hitam pekat, keringatnya terus mengucur dari dalam pori pori tubuhnya. Aku melepas tangan Alvin dan berteriak berlari hendak keluar gubuk.
- bersambung- 

Berita Kegiatan

- Copyright © Cania Bianca - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -